BACAAN-BACA AN SURAH DI DALAM SHALAT NABI SAW. (SITE – VI)
Maret 18, 2012 Tinggalkan komentar
(Sumber diambil dari : buku Sifat SHALAT NABI SAW yang ditulis oleh Muhammad Nashiruddin al- Albani pada halaman 249 s/d 305, Penerjemah : Tajuddin Pogo,M.A., Penerbit GEMA INSANI Depok : Jln. Ir. H. Juanda Depok 16418, Jakarta Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740, Cetakan Pertama, Dzulqa’idah 1429 H / November 2008 M.)
Lanjutan dari site-V :
Berikut ini disampaikan hadits-hadits (matan hadits ditulis dalam bahasa Indonesia) tentang bacaan surah di dalam shalat Nabi Muhammad saw, yaitu :
44) Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa shalat di malam hari dengan membaca dua ratus ayat, maka dia tercatat di antara orang-orang yang taat dan ikhlas.” (78) “Rasulullah saw membaca [pada] setiap malam dengan bacaan surah Bani Israil [111 ayat] dan surah az-Zumar [75 ayat].” (79) Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa shalat di malam hari dengan membaca seratus ayat, maka dia tidak tercatat sebagai orang-orang yang lalai.” (80) Terkadang, “Rasulullah saw membaca dalam setiap rakaat sekitar lima puluh ayat atau lebih.” (81) Terkadang, “Rasulullah aw membaca sekitar panjangnya surah al-Muzammil [20 ayat].” (82)
(78) Ia adalah penggalan dari hadits Abu Huraiah r.a. secara marfu’ (sanadnya sampai kepada Rasulullah saw), dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa shalat di malam hari dengan membaca seratus ayat, maka dia tidak tercatat sebagai orang-orang lalai. Barangsiapa shalat di malam hari dengan membaca dua ratus ayat, maka dia ditulis termasuk orang-orang yang taat dan ikhlas.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim (halaman 1/308-309) dari Abdurrahman bin Abiz Zinad, dari Musa bin Uqbah, dari Ubaidullah bin Salman, dari ayahnya Abu Abdillah bin Salman al-Agharr, dari Abu Hurairah. Sanad hadits ini adalah sanad yang hasan.
(79) Ia adalah bagian dari hadits Aisyah r.a., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw banyak berpuasa sehingga kami mengatakan, ‘Rasulullah saw tidak ingin berbuka.’ Rasulullah saw banyak berbuka sehingga kami mengatakan, ‘Rasulullah saw tidak ingin berpuasa. ‘Sesungguhnya Rasulullah saw membaca [pada] setiap malam dengan bacaan surah Bani Israil [111 ayat] dan surah az-Zumar [75 ayat].”” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (halaman 6/122) dan Ibnu Nashr (halaman 69) dan tambahan tersebut [pada] adalah darinya. Hadits ini diriwayatkan dari Hammad bin Zaid, dia berkata, “Kami diberitahukan hadits oleh Marwan Abi Lubabah, dari Bani Aqil, dari Aisyah.” Sanad hadits ini adalah sanad yang shahih, dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi yang tsiqah (terpercaya), sebagaimana dikatakan oleh al-Haitsami (halaman 2/272).
(80) Ia adalah bagian dari hadits Abu Hurairah r.a., dan telah disebutkan sebelumnya. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim (halaman 1/308) lewat jalur Abdan, dia berkata, “Kami diberitakan hadits oleh Abu Hamzah dengan lafazh, “’….tercatat sebagai orang-orang taat.”’ Al-Hakim berkata, “Shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh keduanya. Ia juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya lewat jalur ini dengan lafazh, “Barangsiapa bangun shalat malam dengan membaca dua ratus ayat, maka ia tercatat sebagai orang-orang yang memiliki harta kekayaan yang banyak (pahala yang banyak sekali).”
(81) Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabiir dalam hadits panjang dari Ibnu Abbas tentang shalat Nabi saw pada malam hari, dan di dalamnya terdapat, “Kemudian Rasulullah saw shalat empat rakaat, dan membaca dalam setiap rakaat sekitar lima puluh ayat, dan Rasulullah saw memanjangkan ruku’ dan sujud dalam shalatnya…(al-hadits).” Namun, di dalam sanadnya terdapat Atha’ bin Muslim al-Khaffaf, al-Haitsami (halaman 2/276) berkata, “Dia dikatakan tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Hibban.” Ulama yang lainnya mengatakan “Dia adalah dha’if. Sesungguhnya dia adalah seorang yang saleh, namun kitab-kitabnya terkubur, sehingga haditsnya tidak terbukti cermat hafalannya.” Al-Hafizh dalam at-Taqriib berkata, “Shaduq (jujur) namun banyak melakukan kesalahan (dalam riwayat hadits).” Syaikh al-Albani mengomentari, “Dengan tingkat seperti ini, haditsnya ini adalah hadits shahih dan terbukti kuat, karena ia memiliki syahid (saksi hadits yang menguatkan) dari hadits Aisyah.” Jadi, bila lama sujud Rasulullah saw sekitar bacaan 50 ayat, maka berdirinya juga sekitar itu atau lebih panjang, karena sujud Rasulullah saw tidak mungkin lebih panjanag dari pada berdirinya, sebagaimana hal itu diketahui dari perbuatan beliau saw sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh dalam al-Fath (halaman 3/14). Dia berkata, “Jadi, dalam hadits tentang gerhana disebutkan, ‘Kemudian Rasulullah saw melakukan ruku’ seperti lamanya berdiri.’ Dalam hadits Hudzaifah juga disebutkan seperti itu.” Dia berkata, “Telah diketahui dari riwayat Aisyah ini bahwa Rasulullah saw membaca Al-Qur’an lebih daripada itu.” Syaikh al-Albani mengomentari, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (halaman 1/212 dan 213) dengan dua sanad shahih dari Aisyah, “Rasulullah saw menunaikan shalat Isya, kemudian beliau berbaring di atas tempat tidurnya, lalu tidur. Kemudian beliau saw bangun menuju ke tempat shalatnya, dan menunaikan shalat delapan rakaat. Rasulullah saw menyamakan antara seluruhnya dalam bacaan, ruku’ dan sujud….(al-hadits).”
(82) Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Ia berkata, “Aku berada di rumah Maimunah, kemudian Nabi saw bangun shalat malam. Kemudian aku pun bangun bersama beliau dan bermakmum di sebelah kirinya. Kemudian Rasulullah saw memindahkanku ke sebelah kanannya. Lalu, Rasulullah saw menunaikan shalat tiga belas rakaat. Aku memperkirakan lama berdirinya setiap rakaat sekitar bacaan surah al-Muzzammil [surah ke 73: 20 ayat].” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (halaman 1/365-366), “Kami diberitahukan hadits oleh Abdur Razzaq, ‘Kami diberitahukan hadits oleh Ma’mar, dari Ibnu Thawus, dari Ikrimah bin Khalid, dari Ibnu Abbas.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (halaman 1/215) dan ath-Thabrani di dalam al-Kabiir dari Abdur Razzaq. Sanad ini adalah sanad yang shahih berdasarkan persyaratan al-Bukhari dan Muslim.
45) Rasulullah saw tidak pernah bangun malam sepanjang malam seluruhnya, (83) kecuali hanya jarang sekali. Dan pernah terjadi, “Dari Abdullah bin Khabbab ibnul Aratt dari ayahnya maula bani Zuhrah – dia termasuk salah seorang yang terlibat dalam Perang Badar bersama Rasulullah saw – dia memperhatikan Rasulullah saw semalam suntuk [dalam sebuah riwayat disebutkan dalam suatu malam di mana Rasulullah saw menghidupkan seluruhnya dengan shalat] hingga datang waktu shubuh. Setelah Rasulullah saw mengucapkan salam dari shalatnya, Khabbab ibnul Aratt berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, aku telah melihat engkau menunaikan shalat di malam ini, yang mana aku belum pernah menyaksikan engkau melakukan shalat yang semisal dengannya.” Rasulullah saw bersabda, “Benar, sesungguhnya ia adalah shalat (raghab) harapan dan (rahab) takut dan cemas. [dan sesungguhnya aku] memohon kepada Tuhanku Allah SWT tiga perkara, kemudian Allah SWT mengabulkan dua perkara dan menolakku satu perkara. Sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku, agar Dia tidak memusnahkan kita dengan azab yang telah memusnahkan umat-umat sebelum kita [dalam sebuah lafazh, agar Dia tidak memusnahkan umatku secara missal], (84) kemudian Allah SWT menganugerahkannya kepadaku. Aku memohon kepada Tuhanku, Allah SWT, agar Dia tidak memberikan kemenangan musuh kita atas kita. Kemudian Allah SWT menganugerahkannya kepadaku. Kemudian aku memohon kepada Tuhanku agar Dia tidak memecah belah kita menjadi berkelompok-kelompok; namun Dia menolakku dalam permintaan itu.” (85)
(83) Ia adalah bagian dari hadits Aisyah r.a.. Dari Sa’id bin Abi Arubah, dari Qatadah, dari Zurarah bahwa Sa’ad bin Hisyam bin Amir, dari Aisyah, ia berkata, “Aku tidak mengetahui Rasulullah saw membaca Al-Qur’an seluruhnya dalam satu malam, dan tidak pula bangun shalat malam hingga waktu subuh.” Hadits ini telah disebutkan pula dalam pembahasan ini. (1) [(1) Syaikh al-Albani mengomentari, “Berdasarkan hadits ini dan lain-lain, dimakruhkan menghidupkan malam seluruhnya terus-menerus atau secara dominan, karena ia bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw. Seandainya menghidupkan malam dengan shalat itu lebih afdhal, maka Rasulullah saw tidak akan ketinggalan dalam melakukannya. Sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan Rasulullah saw, Muhammad saw. Dan tidak dapat dijadikan pegangan apa yang diriwayatkan dari Abu Hanifah – semoga Allah SWT merahmatinya – bahwa dia selama empat puluh tahun selalu melakukan shalat Shubuh dengan wudhu dari shalat Isya (tidak batal). Sebab, sesungguhnya riwayat tersebut tidak ada sumbernya dari Abu Hanifah. Bahkan, al-‘Allamah al-Fairus Abadi dalam kitab ar-Radd’alal Mu’taridh (halaman 44/1) berkata, ‘Ini adalah salah satu dari sejumlah riwayat yang dusta secara jelas, dan tidak sepantasnya dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah. Oleh karena, perkara seperti tidak ada fadhilahnya sama sekali yang dapat dipertanggungjawabkan. Dan sesungguhnya Imam Abu Hanifah pasti akan memilih yang lebih afdhal. Tidak diragukan bahwa berthaharah (wudhu) setiap shalat adalah lebih afdhal, lebih sempurna, dan lebih lengkap. Hal ini dinyatakan kalau benar bahwa Imam Abu Hanifah selalu bangun dan menghidupkan seluruh malamnya sepanjang empat puluh tahun, secara berturut-turut. Perkara seperti ini lebih dekat kepada perkara yang mustahil. Ia juga adalah khurafat dari sebagian para pengikutnya yang fanatik dan bodoh. Mereka mengatakan hal itu terhadap Abu Hanifah dan lain-lain, dan semua itu adalah dusta.”] Namun hal ini tidak berlaku umum, berdasarkan hadits yang muncul setelahnya, dan berdasarkan hadits Hudzaifah yang terdahulu juga. Ia secara tekstual menunjukkan atas fakta bahwa Rasulullah saw menghidupkan malam secara keseluruhan. Dan yang menjadi syahid (saksi hadits yang menguatkan) bagi hadits ini, juga adalah hadits dari hadits Aisyah sendiri, di mana dia berkata, “Sesungguhnya aku bangun bersama Rasulullah saw pada satu malam semalaman suntuk ……(al-hadits).” Sanad ini adalah sanad yang jayyid sebagaimana telah dijelaskan. Yang menjadi syahid (saksi hadits yang menguatkan) bagi hadits ini adalah hadits Aisyah lainnya, lihat kitab Riyaadhush Shaalihiin (halaman 436).
(84) Memusnahkan secara missal sebagaimana disebutkan dalam hadits Tsauban. An-Nawawi dalam Syarah Muslim berkata, “Jangan sampai Dia menghancurkan umat dengan bencana yang menimpa massal dan menyeluruh pada negeri Islam. Namun bila bencana terjadi, maka kejadiannya hanya lokal saja, di suatu tempat yang kecil dibandingkan dengan seluruh negeri Islam. Maka, hanya puji bagi Allah SWT atas karunia-Nya dan nikmat-Nya.” Sabda Rasulullah saw, “Agar Dia tidak memberikan kemenangan atas kita, yakni atas umat Islam, umat Muhammad saw,” “Kepada musuh kita dari selain diri kita,” yaitu dari kelompok-kelompok orang kafir. Dan yang dimaksud adalah agar Allah SWT tidak memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir atas kaum Muslimin, sehingga memusnahkan mereka sampai habis, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Tsauban; “Agar Dia tidak memberikan kekuasan kepada musuh atas umat Islam dari golongan lain dari selain mereka sehingga menghancurkan jamaah (demikian pula kejayaan dan kehormatan) mereka. Yakni, jamaah kaum Muslimin dan keturunan mereka.” Sabda Rasulullah saw, “Yakni, mengadu domba kita dalam medan pertempuran.” “Yakni, berkelompok-kelompok: yang bertikai antara sesamanya dengan sebagian memerangi sebagian yang lain.” “Namun Dia menolakku dalam permintaan itu.” As-Sanadi berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya pengabulan doa dengan menganugerahkan perkara yang diminta, tidak seluruhnya bisa terealisasi, bahkan bisa jadi ia tertunda karena tidak mencukupi beberapa persyaratan yang disyaratkan dalam pengabulan doa.”
(85) Ia adalah bagian dari hadits Khabbab ibnul Aratt. Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i, at-Tirmidzi (halaman 2/26 – cet. Bulaq), Ahmad (halaman 5/108 dan 109) {dan Ibnu Hibban (7129-al-Ihsan), dan ath-Thabrani (1/187/2)=[4/57 dan 58 dan 59]; lewat jalur az-Zuhri, dia berkata, “Aku diberitakan hadits oleh Ubaidullah bin Abdullah ibnul Harits bin Naufal dari Abdullah bin Khabbab ibnul Aratt….dst….” At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini adalah hadits hasan shahih.” Syaikh al-Albani mengomentari, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi tsiqah (terpercaya) dari al-Bukhari dan Muslim selain Abdullah bin Khabbab, dan dia pun adalah perawi yang tsiqah. An-Nasa’i memberikan judul untuk hadits ini dengan bab “Menghidupkan Malam.”
46) “Nabi saw bangun shalat malam di suatu malam dengan membaca ayat yang selalu di ulang secara terus-menerus hingga pagi hari, yaitu ayat, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, ‘Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.’ (al-Maa’idah: 118) [dengan membacanya Rasulullah saw ruku’, dengan membacanya Rasulullah saw bersujud, dan dengan membacanya Rasulullah saw berdoa] [setelah pagi, Abu Dzarr r.a. berkata kepada beliau saw, ‘Wahai Rasulullah, engkau terus membaca ayat ini hingga pagi hari, engkau ruku’ membacanya, engkau sujud membacanya], [dan engkau berdoa dengannya], [dan sesungguhnya Allah SWT telah mengajarkan Al-Qur’an seluruhnya kepada engkau (kenapa engkau hanya membaca ayat tersebut? Penj.)], [seandainya sebagian dari kami yang melakukan hal ini, maka kami bisa memahaminya?]. [Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku, Allah Azza wa Jalla, syafaat bagi umatku, kemudian Allah SWT menganugerahkannya kepadaku; dan ia akan diraih oleh siapa pun – insya Allah SWT – bagi orang yang tidak menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu apa pun.’] “” (86)
(86) Ia adalah hadits Abu Dzarr al-Ghifari r.a.. Hadits ini diriwayatakan oleh an-Nasa’i (halaman 1/156-157), Ibnu Majah (halaman 1/407), ath-Thahawi (halaman 1/205), al-Hakim (halaman 1/241), dan Ahmad (halaman 5/156 dan 177) lewat beberapa jalur dari Qudamah bin Abdullah al-Amiri, dari Jasrah binti Dijajah, dari Abu Dzarr. Al-Hakim berkata, “Sanad ini adalah sanad yang shahih,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Kemudian hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (halaman 5/170) dengan tambahan-tambahan lainnya. “Kami diberitahukan hadits oleh Yahya, ‘Kami diberitahukan hadits oleh Qudamah bin Abdullah, dengan lafazh, ‘Nabi saw bangun di salah satu malam, pada shalat Isya kemudian memimpin shalat para sahabat. Kemudian ada beberapa sahabat Rasulullah saw yang tertinggal menunaikan shalat. Setelah Rasulullah saw melihat berdirinya mereka dan ketertinggalan mereka, Rasulullah saw kembali ke tempat kemahnya. Kemudian setelah melihat sahabat telah mengosongkan tempat itu, Rasulullah saw kembali ketempat itu. Lalu, Rasulullah saw menunaikan shalat, kemudian aku datang dan berdiri di belakang beliau saw. Rasulullah saw mengisyaratkan kepadaku agar pindah di sebelah kanannya, maka aku pun berdiri di sebelah kanannya. Kemudian Ibnu Mas’ud datang, dan berdiri dibelakangku dan dibelakang Rasulullah saw. Lalu Rasulullah saw mengisyaratkan kepadanya agar pindah ke sebelah kirinya, kemudian Ibnu Mas’ud berdiri di samping kirinya. Kemudian masing-masing dari kami bertiga menunaikan shalat dan membaca doa untuk dirinya sendiri, dan membaca Al-Qur’an semampunya atas kehendak Allah SWT. Kemudian Rasulullah saw menunaikan shalat dengan membaca satu ayat dari Al-Qur’an yang secara terus-menerus diulang hingga shalat Shubuh. Setelah pagi hari, aku mengisyaratkan kepada Abdullah bin Mas’ud agar dia bertanya kepada Rasulullah saw tentang apa yang diinginkan oleh beliau saw dengan perbuatan yang dilakukannya semalam. Kemudian Ibnu Mas’ud mengatakan dengan isyarat tangannya, ‘Aku tidak akan bertanya kapadanya tentang sesuatu hingga Rasulullah saw menjelaskannya kepadaku.’ Maka aku pun bertanya, ‘Demi Ayah dan Ibuku! Engkau bangun shalat malam dengan hanya membaca satu ayat dari Al-Qur’an, sementara engkau menghafal seluruh Al-Qur’an. Seandainya sebagian dari kami yang melakukan hal ini, apakah kami dapat memahaminya?’ Rasulullah saw bersanda, ‘Aku berdoa untuk umatku.’ Dia bertanya, ‘Apa yang dikabulkan oleh Allah SWT untuk engkau?’ atau: apa balasan jawaban yang engkau dapatkan?’ Rasulullah saw bersabda, ‘Aku mendapatkan balasan jawaban dengan perkara yang bila kebanyakan umat mengetahuinya sekilas saja, maka mereka meninggalkan shalat.’ Dia berkata, ‘Tidakkah sebaiknya aku memberitakan kabar gembira ini kepada orang-orang?’ Rasulullah saw bersabda, ‘Mengapa tidak?’ Maka, aku pun bertolak dengan cepat laksana lemparan batu. Kemudian Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya bila engkau mengutusnya kepada orang-orang dengan menyampaikan berita ini, maka mereka akan takut dan mundur dari beribadah.’ Kemudian Rasulullah saw berseru, ‘Kembalilah.’ Kemudian dia kembali. Ayat itu adalah, ayat no. 118 surat al-Maa’idah/5. Sanad ini adalah sanad yang kuat seperti sanad hadits sebelumnya.
47) Seseorang berkata kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki seorang tetangga yang bangun shalat malam, tetapi dia tidak membaca selain, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, ‘Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (al-Ikhlaash: 1, 4 ayat). [Dia terus mengulang-ulangnya] [dan tidak menambahkan apa pun sesudahnya] – seolah-olah sahabat ini menganggapnya terlalu sedikit. Kemudian Rasulullah saw bersabda, ‘Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya! Sesungguhnya ia setara dengan sepertiga dari Al-Qur’an.”’ (87)
(87) Ia adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (halaman 3/43) lewat jalur Ishaq – dia adalah bin Isa, “Kami diberitahukan hadits oleh Malik dari Abdurahman bin Abdullah bin Abdurahman bin Abi Sha’sha’ah al-Anshari, dari ayahnya.” Sanad ini adalah sanad yang shahih. Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Daruquthni sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh dalam al-Fath (halaman 9/49). Hadits ini telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’ (halaman 1/211) dan lewat jalurnya hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (halaman 9/48-49 dan 13/303), Abu Dawud (halaman 1/230), an-Nasa’i (halaman 1/155), ath-Thahawi dalam al-Musykil (halaman 2/81 dan 82) dan demikian pula Ahmad (halaman 3/35), semuanya lewat jalur riwayat yang serupa dengannya, dan di dalamnya terdapat tambahan pertama.
7. Shalat Witir
48) Sesungguhnya Rasulullah saw membaca pada rakaat pertama dengan bacaan, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” (al-A’laa: 1, 19 ayat). Pada rakaat kedua Rasulullah saw membaca dengan bacaan, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir!”’ (al-Kaafiruun: 1, 6 ayat). Pada rakaat ketiga, Rasulullah saw membaca dengan bacaan, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa.”’ (al-Ikhlaash: 1,4 ayat). (88) Terkadang Rasulullah saw menambahkan atasnya dengan bacaan, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar).”’ (al-Falaq: 1, 5 ayat), dan Bacaan, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhannya manusia.”’ (an-Naas: 1, 6 ayat). (89) Suatu kali, Rasulullah saw membaca pada satu rakaat Witir dengan bacaan seratus ayat dari surah an-Nisaa’ [176 ayat]. (90)
(88) Di dalam masalah ini terdapat beberapa hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i (halaman 1/249), at-Tirmidzi (halaman 2/325-326), ad-Darimi (halaman 1/372-373), Ibnu Majah (halaman 1/357), Ibnu Nashr (halaman 121), ath-Thahawi (halaman 1/170), Ahmad (halaman 1/299-300, 316, dan 372), ath-Thabrani di dalam ash-Shaghiir (halaman 163), dan ath-Thabrani di dalam al-Kabiir juga lewat beberapa jalur dari Abu Ishaq, dari Sa’id bin Jubair, dan Ibnu Abbas, tentang hal itu.
(89) Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (halaman 1/225), at-Tirmidzi (halaman 2/326), Ibnu Majah (halaman 1/357), al-Hakim (halaman 2/520-521), dan Ahmad (halaman 6/227).
(90) Ia adalah bagian dari hadits Abu Musa, yang diriwayatkan darinya oleh Abu Mijlaz, “Bahwa Abu Musa berada di antara Mekah dengan Madinah, kemudian dia menunaikan shalat Isya dua rakaat. Lalu dia bangun lagi dan shalat satu rakaat untuk menunaikan shalat Witir dengannya. Kemudian dia membaca seratus ayat dari surah an-Nisaa’ [176 ayat], lalu dia berkata, ‘Aku tidak melampaui dalam meletakkan kedua kakiku, di mana Rasulullah saw meletakkan kedua kakinya, dan aku membaca dengan bacaan yang dibaca oleh Rasulullah saw.”’ Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i (halaman 1/251) lewat jalur Hammad bin Salamah, dari Ashim al-Ahwal, dari Abu Mijlaz. Sanad ini adalah sanad yang shahih. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (halaman 4/419) lewat jalur Tsabit, “Kami diberitahukan hadits oleh Ashim dengan riwayat yang semisal dengannya.” Dan sanad ini adalah sanad yang shahih juga berdasarkan persyaratan al-Bukhari dan Mulim.
Bacaan pada shalat dua rakaat setelah Witir.
49) Sedangkan pada shalat dua rakaat setelah Witir, Rasulullah saw membaca di dalam keduanya dengan bacaan, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, “ {az-Zalzalah: 1} [surah ke-99: 8 ayat] dan “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai orang-orang kafir!”’ {al-Kaafiruun: 1} [surah ke-109: 6 ayat]. (91)
(91) Ia adalah bagian dari hadits Abu Umamah r.a., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw menunaikan Witir dengan sembilan rakaat, namun ketika beliau mulai gemuk dan banyak lemaknya, beliau menunaikan Witir tujuh rakaat. Kemudian beliau shalat dua rakaat sambil duduk, lalu membaca, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, ‘Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat,’ {az-Zalzalah: 1} [surah ke-99: 8 ayat} dan ‘Katakanlah (Muhammad). ‘Wahai orang-orang kafir!” {al-Kaafiruun:: 1} [surah ke-109: 6 ayat].” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (halaman 5/269), Ibnu Nashr (halaman 82 dan 130), dan ath-Thahawi (halaman 1/171) lewat jalur Imarah bin Zadan, “Aku diberitahukan hadits oleh Abu Ghalib, dari Abu Umamah.
[Catatan] Penting untuk diketahui bahwa telah terbukti benar dua riwayat ini dari hadits Aisyah, juga dalam shahih Muslim (halaman 2/169), {Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dengan sanad yang hasan shahih}, dan lain-lain {dari perbuatan Rasulullah saw} yang keduanya menafikan sabda Rasulullah saw, dari Abdullah bin Umar r.a., Rasulullah saw bersabda, “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari, adalah shalat Witir.” (HR enam ahli hadits, kecuali Ibnu Majah). Dengan demikian, secara tekstual tampak dari riwayat tersebut bahwa terkadang Rasulullah saw melakukan hal itu untuk menjelaskan kebolehannya, dan bahwa perintah dalam hadits tersebut bukanlah suatu kewajiban. Wallahu a’lam. Silahkan merujuk al-Majmuu’ (halaman 4/16). {Kemudian kami menemukan hadits shahih yang memerintahkan shalat sunnah dua rakaat setelah shalat Witir, sehingga ada kecocokan antara perintah dengan perbuatan Rasulullah saw. Terbuktilah bahwa shalat dua rakaat setelah Witir disyariatkan untuk seluruh manusia. Dengan demikian, perintah pertama didudukkan dalam status hukum sunnah, sehingga tidak ada pertentangan. Kami telah men-takhriij hadits ini dalam kitab ash-Shahiihah (1993) dan alhamdulillah atas taufik-Nya.}
8. Shalat Jumat
50) Terkadang Rasulullah saw membaca dalam shalat Jumat pada rakaat pertama dengan bacaan surah al-Jumu’ah (11 ayat) dan pada rakaat terakhir, (yang dalam bahasa Indonesianyanya) adalah, “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad)…” {al-Munaafiquun} [surah ke-63: 11 ayat], (92) dan terkadang Rasulullah saw membaca – sebagai gantinya: (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? {al-Ghaasyiyah: 1} [surah ke-88: 26 ayat].(93) Terkadang Rasulullah saw membaca pada rakaat pertama, (yang dalam bahasa Indonesianyanya) adalah, “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” {al-A’laa: 1} [surah ke-87: 19 ayat]. “Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hari Kiamat)?” {al-Ghaasyiyah: 1} [surah ke-88: 26 ayat]. (Pada rakaat terakhir). (94)
(92) Dalam masalah ini terdapat dua hadits. Hadits pertama, dari Abu Hurairah r.a.. Hadits ini diriwayatkan darinya, oleh Ubaidullah bin Abi Rafi’, ia berkata, “Marwan menunjuk Abu Hurairah sebagai wakilnya atas Madinah selama dia pergi ke Mekah. Kemudian Abu Hurairah memimpin kami shalat Jumat. Lalu setelah dia membaca surah al-Jumu’ah [62: 11 ayat] pada rakaat pertama, maka pada rakaat terakhir, dia membaca, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, ‘Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad)….’ {surah al-Munaafiquun} [surah ke-63: 11 ayat]. Kemudian aku menyusul Abu Hurairah ketika dia pulang, seraya aku berkata, kepadanya, ‘Sesungguhnya engkau membaca dua surah yang keduanya telah dibaca oleh Ali bin Abi Thalib di Kufah.’ Kemudian Abu Hurairah berkata, ‘Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw membaca keduanya dalam shalat Jumat.”’ Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (halaman 3/15) dan lafazh ini adalah miliknya, Abu Dawud (halaman 1/175-176), dan at-Tirmidzi (halaman 2/396-397) – dan dia berkata, “Hadits ini hasan shahih,” dan Ibnu Majah (halaman 1/345), semuanya lewat jalur Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Ubaidullah bin Abi Rafi’. Hadits kedua, dari Ibnu Abbas. “Nabi saw membaca pada hari Jumat dalam shalat Shubuh, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Alif Laam miim. Turunnya Al-Qur’an ….” {surah as-Sajdah (surah ke 32: 30 ayat)} dalam rakaat pertama dan dalam rakaat kedua, Rasulullah saw membaca, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, ‘Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?’ (al-Insaan: 1, 31 ayat) dan bahwasanya Rasulullah saw membaca pada shalat Jumat surah al-Jumu’ah [surah ke-62: 11 ayat], dan surah al-Munaafiquun [surah ke-63: 11 ayat].” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (halaman 3/16), Abu Dawud (halaman 1/169), an-Nasa’i (halaman 1/209-210), ath-Thahawi (halaman 1/240), ath-Thayalisi (halaman 343), dan Ahmad (halaman 1/340 dan 354) lewat jalur Mukhawwal bin Rasyid dari Muslim al-Bithain dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (halaman 1/361) dari Qatadah, dari Azrah, dari Sa’id bin Jubair dengan ringkas, seperti yang disebut dalam bab ini. Sanad ini adalah sanad yang shahih berdasarkan persyaratan Muslim. Imam asy-Syafi’i telah memilih dua surah ini dibaca dalam shalat Jumt, dan atasnya bermadzhab kebanyakan ulama ahli fiqih, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Bidaayah (halaman 1/128).
(93) Ia adalah hadits dari an-Nu’man bin Basyir. Hadits ini diriwayatkan dari Ubaidullah bin Utbah bin Mas’ud, bahwa adh-Dhahhak bin Qais bertanya kepada Nu’man bin Basyir, “Apa yang telah dibaca oleh Rasulullah saw pada hari Jumat setelah surah al-Jumu’ah?” Dia menjawab, “Rasulullah saw membaca, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah,‘Sudahkah sampai kepadmu berita tentang (hari Kiamat)?”’ {al-Ghaasyiyah: 1} [surah ke-88: 26 ayat]. Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’ (halaman 1/133-134). Dan lewat jalurnya hadits ini diriwayatkan oleh Muhammad (halaman 135), Abu Dawud (halaman 1/175), an-Nasa’i (halaman 1/210), ad-Darimi (halaman 1/367), ath-Thahawi (halaman 1/240), dan Ahmad (halaman 4/270 dan 277), mereka semua meriwayatkannya dari Malik dari Dhamrah bin Sa’id al-Mazini, dari Ubaidullah bin Utbah bin Mas’ud. Riwayat hadits ini telah diikuti oleh Sufyan bin Uyainah dari Dhamrah. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (halaman 3/16), Ibnu Majah (halaman 1/345), dan ath-Thahawi. Ia juga diikuti oleh Abu Uwais yang terdapat pada riwayat ad-Darimi. Ibnu Rusyd (halaman 1/128) berkata, “Malik mensunnahkan agar beramal berdasarkan hadits ini.” Kemudian dia berkata, “Sedangkan Abu Hanifah tidak meninggalkan riwayat pendapat apa pun di dalam masalah ini.” As-Sanadi berkata, “Perbedaan ini didudukkan pada kebolehan membaca semuanya dan semuanya adalah sunnah. Dan bahwa Rasulullah saw kadangkala membaca yang ini dan kadangkala membaca yang itu. Dengan demikian, tidak ada perselisihan antara hadits-hadits dalam bab ini.” Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad (halaman 1/144) berkata, “Semua riwayat hadits tersebut telah terbukti shahih dari Rasulullah saw, namun tidak disunnahkan membaca setiap surah setengahnya saja, atau membaca salah satunya saja. Di antaranya dalam dua rakaat sekaligus, karena ia bertentangan dengan sunnah. Dan para imam masjid yang tidak mengetahui hal itu biasanya membaca keduanya secara terus-menerus.”
(94) Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (halaman 3/15-16), Abu Dawud (halaman 1/175), an-Nasa’i (halaman 1/210 dan 232), at-Tirmidzi (halaman 2/413), ad-Darimi (halaman 1/368 dan 376-377), ath-Thahawi (halaman 1/240), ath-Thayalisi (halaman 107), dan Ahmad (halaman 4/273, 276 dan 277).
9. Dua Shalat Id.
51) Terkadang Rasulullah saw membaca pada rakaat pertama, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” {al-A’laa: 1}[surah ke-87: 19]. (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hari Kiamat)?” (Pada rakaat kedua) {al-Ghaasyiyah: 1} [surah ke 88: 26 ayat]. (95) Terkadang Rasulullah saw membaca dalam dua shalat Id dengan bacaan, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Qaaf. Demi Al-Qur’an yang mulia.” {Qaaf: 1} [surah ke-50: 45 ayat] dan (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, “Saat (hari Kiamat) semakin dekat …” {al-Qamar: 1} [surah ke-54: 55 ayat]. (96)
(95) Ia adalah hadits an-Nu’man bin Basyir. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan lain lain, dan hadits ini telah di-takhrij seperti tersebut di atas.
(96) Ia adalah bagian dari hadits Abu Waqid al-Laitsi r.a.. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, bahwa Umar ibnul Khaththab bertanya kepada Abu Waqid al-Laitsi, “Apa yang dibaca oleh Rasulullah saw dalam shalat Idul Adha dan Idul Fitri?” Dia menjawab, “Rasulullah saw membaca, (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, ‘Qaaf. Demi Al-Qur’an yang mulia.”’ {Qaaf: 1} [surah ke-50: 45 ayat] dan (yang dalam bahasa Indonesianya) adalah, ‘Saat (hari Kiamat) semakin dekat, bulan pu terbelah.’ {al-Qamar: 1} [surah ke-54: 55 ayat]” Hadits diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’ (halaman 1/191) dan lewat jalurnya hadits ini diriwayatkan oleh Muslim (halaman 3/21), Muhammad (halaman 137), Abu Dawud ( halaman 1/179-180), at-Tirmidzi (halaman 2/415), ath-Thahawi (halaman 1/240), ad-Daruquthni (halaman 180), dan Ahmad (halaman 5/217-218) semuanya dari Malik dari Dhamrah bin Sa’id al-Mazini, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. An-Nawawi dalam Syarah Muslim berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil untuk Imam asy-Syafi’i dan ulama-ulama yang menyepakatinya bahwa disunnahkan membaca dua surah ini dalam dua shalat Id.” Ulama berkata, “Hikmah dari membaca keduanya adalah karena keduanya mengandung berita-berita tentang kebangkitan, berita-berita tentang generasi-generasi terdahulu, penghancuran para kaum pendusta, perumpamaan keluar orang-orang berbondong-bondong ke tempat shalat Id. Mereka nanti dibangkitkan dan dikumpulkan di Padang Mahsyar, dan keluarnya jasad-jasad dari dalam perut bumi laksana belalang yang beterbangan.” Mayoritas ulama bermadzhab disunnahkan bacaan surah al-A’laa [surah ke-87: 19 ayat] dan surah al-Ghaayiyah [surah ke-88: 26 ayat], dalam shalat Id berdasarkan hadits an-Nu’man dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam al-Bidaayah (halaman 1/170) karangan Ibnu Rusyd. Dia berkata, “Riwayat tentang hal itu mutawattir dariRasulullah saw.” An-Nawawi dalam al-Majmuu’ (halaman 4/17-18) setelah menyebutkan dua hadits tersebut berkata, “Sesungguhnya keduanya adalah sunnah.” Inilah yang benar insya Allah SWT, sehingga sesekali dibaca yang ini, dan sesekali dibaca yang itu.
10. Shalat Jenazah
52) Disunnahkan membaca dalam shalat Jenazah dengan bacaan surah al-Faatihah [dan surah lain] (97). (98) Dan Rasulullah saw merendahkan suara dalam membacanya, (99) setelah takbir yang pertama.(100)
(97) Asy-Syaukani (halaman 4/53) berkata, “Di dalamnya terdapat dalil tentang disyariatkannya membaca surah lain bersama surah al-Faatihah dalam shalat Jenazah. Hal itu mau tidak mau harus diterima, karena ia adalah tambahan yang muncul dari sumber yang shahih. Yang mendukung kewajiban membaca surah dalam shalat Jenazah adalah hadits-hadits yang telah disebutkan terdahulu, dalam bab “Kewajiban Membaca al-Faatihah dari Kitaabuh Shalaah dan hadits-hadits secara tekstual benar-benar menunjukkan dalam setiap shalat.” Disunnahkannya membaca surah pendek adalah salah satu pegangan dalam madzhab asy-Syafi’iyyah sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmuu’ [dan itulah pegangan yang benar], dan dasar dalilnya adalah hadits ini. Hadits ini dinyatakan shahih sebagaimana akan dijelaskan.
(98) Ia adalah bagian dari hadits Abdullah bin Abbas r.a.. Hadits ini diriwayatkan oleh Thalhah bin Abdullah bin Auf yang berkata, “Aku shalat dibelakang Ibnu Abbas r.a. atas satu Jenazah. Kemudian dia membaca surah al-Faatihah. Dia berkata, ‘Agar kalian mengetahui bahwa ia adalah sunnah.’” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukahri (halaman 3/158), Abu Dawud (halaman 2/68), an-Nasa’i (halaman 1/281), at-Tirmidzi (halaman 1/191-cet. Bulaq), ad-Daruquthni (halaman 191), al-Hakim (halaman 1/358 dan 386), dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya lewat jalur Syu’bah dan Sufyan dari Sa’ad bin Ibrahim, dari Thalhah bin Abdullah bin Auf, tentang hal itu. Al-Hakim berkata, “Shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Namun, kedua telah melakukan wahm (salah duga) dari dua sisi, Pertama, penelusuran atas hadits ini bahwa ia belum diriwayatkan oleh al-Bukhari, padahal faktanya hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya. Kedua, bahwa ia bukan sesuai dengan persyaratan Muslim, karena dia tidak pernah meriwayatkan hadits dari Thalhah ini.”
(99) Ia adalah bagian dari hadits Abu Umamah r.a., “Yang termasuk sunnah ketika shalat Jenazah adalah membaca Ummul Qur’an dengan suara pelan pada takbir pertama, kemudian bertakbir tiga kali lagi, kemudian mengucapkan salam pada akhirnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i (halaman 1/281) dan lewat jalur Ibnu Hazm dalam al-Muhallaa (halaman 5/129) lewat jalur al-Laits, dari Ibnu Syihab, dari Abu Umamah r.a. Sanad ini adalah sanad yang shahih berdasarkan persyaratan al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana dikatakan oleh an-Nawawi dalam al-Majmuu’ (halaman 5/233) dan dia berkata, “Abu Umamah ini adalah seorang sahabat.” Al-Hafizh dalam al-Fath (halaman 3/158) berkata, “Sanadnya adalah sanad yang shahih.”
(100) Telah bermadzhab dalam beramal dengannya madzhab asy-Syafi’iyyah, sehingga mereka bersepakat bahwa bacaan tersebut letaknya setelah takbir pertama. Ia juga pendapat dari Ahmad. Abu Dawud dalam Masaa’il-nya (halaman 153) berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad tentang doa bagi mayit. Aku bertanya, ‘Apakah pada takbir pertama kita membaca surah al-Faatihah?’ Dia menjawab, ‘Benar’. Aku bertanya, ‘Apa yang diucapkan pada takbir kedua?’ Dia menjawab, ‘Bershalawat kepada Nabi saw.’ Aku bertanya, ‘Apakah doa atas mayit dimunajatkan pada takbir ketiga?’ Dia menjawab, ‘Benar.’ Aku bertanya, ‘Apakah aku langsung salam pada takbir keempat, atau berdoa dulu baru mengucapkan salam?’ Dia menjawab, ‘Kamu berdoa dulu, kemudian baru salam.”” Demikian pula mereka bersepakat bahwa sunnah dalam shalat Jenazah adalah membaca dengan pelan pada siang hari, kemudian mereka berselisih bila shalat Jenazah ditunaikan di malam hari. Ada yang berpendapat membacanya dengan pelan juga. Dan ada yang berpendapat, disunnahkan membaca dengan suara keras. An-Nawawi dalam Syarah Muslim (halaman 5/234) berkata, “Yang menjadi pegangan madzhab adalah yang pertama, dan tidak diperhitungkan sebanyak apa pun orang yang menyatakan membacanya dengan suara keras. Dengan demikian, pengikut madzhab sangat sedikit berpegang kepadanya dibandingkan dengan orang-orang yang berpegang kepada yang lain. Secara tekstual asy-Syafi’i dalam al-Mukhtashar menyatakan, “Membacanya dengan suara pelan,” karena dia berkata, “Dan menyembunyikan bacaan,” dan dia tidak membedakan antara malam dengan siang. Seandainya berbeda, maka dia pasti menyebutkannya. Yang menjadi pegangan hujjah adalah hadits Abu Umamah yang telah kami sebutkan tadi (tersebut di atas) [secara ringkas].
Alhamdulillah telah selesai.
Demikianlah, untuk dimaklumi dan atas perhatian / perkenan Saudara-Saudara kaum Muslimin yang membaca tulisan ini semoga mendapat rakhmat dari Allah SWT dan kami ucapkan terima kasih. Jakarta 08-03-2012. [Ilyas Hanafi, Jl.Robusta IIA Blok S4 no.15, Pondok Kopi, Kec.Duren Sawit, JAKTIM Tilp. (021) 8624807/08151625925].