BAGAIMANA SIFAT DUDUK TASYAHUD AKHIR DI DALAM SHALAT YANG DUA RAKA’AT ?
Juli 20, 2012 Tinggalkan komentar
- A. DARI BUKU AL MASAA-IL JILID KE 4 OLEH ABDUL HAKIM BIN AMIR ABDAT (HAL. 239 S/D 256) DENGAN PENERBIT DARUL QOLAM, KOMP. DEPKES JL. RAWA BAMBU RAYA NO. A2, PASAR MINGGU, JAKARTA-12520, CETAKAN I TH. 1425 H / 2004 M.
Telah berselisih para ulama dalam masalah sifat duduk di dalam Shalat yang dua raka’at seperti Shalat Subuh/Fajar, Shalat Jum’at, dan Shalat-Shalat Sunat yang dua raka’at, yaitu :
- Madzab / Imam Ahmad bin Hambal dan mereka yang sepaham dengan beliau, berpendapat bahwa kalau Shalat itu dua raka’at maka kembali kepada hukum asal sifat duduk di dalam Shalat yaitu iftirasy. Apabila Shalat itu mempunyai dua tasyahud, maka sifat duduk tasyahud awal adalah iftirasy dan tasyahud akhirnya adalah tawarruk.
- Madzab / Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sifat duduk tasyahud awal dan akhir sama saja tidak berbeda yaitu iftirasy. Hal tersebut didasarkan pada 3 (tiga) hadits sebagai berikut :
- Matan hadits dalam bahasa Indonesia adalah :
“Dari Qasim bin Muhammad, dari Abdullah bin Abdullah bin Umar, dari bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar), bahwasanya dia pernah berkata, ‘Sesungguhnya sebagian dari Sunnah Shalat (salah satu sifat duduk Shalat Nabi saw yaitu iftirasy) ialah engkau hamparkan kaki kirimu dan engkau tegakkan (kaki) kananmu (duduk iftirasy).’”
Shahih. Telah dikeluarkan oleh Nasaa-I (Juz 2 hal.235).
- b. Berkata Aisyah r.a. menjelaskan tentang Sifat Shalat Rasulullah saw di antaranya : (matan hadits dalam bahasa Indonesia) “….dan beliau mengucapkan setiap dua raka’at at tahiyyat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (yakni beliau duduk iftirasy)….”
Shahih. Diriwayatkan oleh Muslim(juz 2 hal. 54) dan lain-lain.
- Berkata Waa-il bin Hujr menjelaskan tentang sifat Shalat Rasulullah saw di antaranya : (matan dalam bahasa Indonesia) “….kemudian beliau duduk menghamparkan kaki kirinya (yakni duduk iftirasy), dan beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha dan lutut kirinya, beliau jadikan batas sikut kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam dua jarinya di antara jari-jari tangan (kanan) nya (yakni jari manis dan jari kelingkingnya), kemudian beliau membuat satu lingkaran (dengan kedua jarinya yaitu jari tengah dan ibu jarinya), kemudian beliau mengangkat jari (telunjuk)nya, maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya beliau berdo’a dengannya.” (lihatlah kembali kelengkapan lafazh dan takhrij hadits ini di Al Masaa-il jilid 2 masalah ke 29 nomor hadits 237).
- Adapun madzab-nya Imam Malik bin Anas telah menetapkan bahwa sifat duduk tasyahud awal dan akhir adalah tawarruk tidak ada perbedaan di antara keduanya, dengan dalil sebagai berikut : (matan dalam bahasa Indonesia)
“Dari Malik, dari Yahya bin Sa’id (ia berkata) : ‘Sesungguhnya Qasim bin Muhammad telah memperlihatkan kepada mereka (sifat) duduk tasyahud (yaitu) : Beliau menegakkan kaki kanannya dan melipat kaki kirinya, kemudian beliau duduk dengan meletakkan pangkal pahanya (pantatnya) di tanah (duduk tawarruk), dan beliau tidak duduk di atas kaki kirinya (duduk iftirasy). Kemudian beliau berkata : Abdullah bin Abdullah bin Umar telah memperlihatkan kepadaku (sifat duduk tawarruk) ini, dan dia telah menceritakan kepadaku bahwa bapaknya (yaitu Abdullah bin Umar) telah mengerjakan seperti itu.’”
Hadits tersebut adalah lafazh hadits Ibnu Umar dari riwayat Imam Malik bin Anas.
- Yang menjadi madzhab-nya Imam Asy Syafi’i dan mereka yang sepaham dengan beliau adalah setiap duduk akhir adalah tawarruk, baik shalat yang mempunyai dua tasyahud atau satu tasyahud, dengan dasar hadits-hadits sebagai berikut :
.
- Matan hadits dalam bahasa Indonesia, yaitu :
“Dari Muhammad bin Amr bin ‘Atha’, sesungguhnya ia pernah duduk bersama sepuluh orang Shahabat Nabi saw. Lalu kami menyebut Shalat Nabi saw, maka berkata Abu Humaid As Saa’idiy,’Aku lebih hafal dari kamu tentang Shalat Rasulullah saw. Aku pernah melihat beliau saw apabila bertakbir, beliau jadikan kedua tangannya berhadapan dengan kedua pundaknya. Dan apabila beliau ruku’, beliau meletakkan kedua tangannya di kedua lututnya, kemudian beliau meluruskan punggungnya. Maka apabila beliau mengangkat kepalanya (dari ruku’), beliau berdiri lurus (i’tidal) sehingga kembali setiap tulang belakang ke tempatnya. Kemudian apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangannya dengan tidak menghamparkan dan tidak menggenggam keduanya, dan beliau (ketika sujud) menghadapkan ujung-ujung jari kedua kakinya ke arah kiblat. Kemudian apabila beliau duduk pada dua rakaat, beliau duduk di atas (hamparan) kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya (sifat duduk iftirasy). Dan apabila beliau duduk pada raka’at akhir, beliau majukan kaki kirinya dengan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk di tempatnya (di tanah yakni sifat duduk tawarruk).’”
Shahih. Telah dikeluarkan oleh Bukhari (no.828) dan lain-lain. Lihatlah kelengkapan takhrij di Al-Masaa-il jilid 2 no.234 dan 235.
- Selanjutnya penulis mengemukakan bahwa hadits Abdullah bin Mas’ud di bawah ini memperkuat hadits Abu Humaid As Saa’idiy, yaitu : (matan dalam bahasa Indonesia)
“Dari Abu Mas’ud (ia berkata) : ‘Bahwasanya Rasulullah saw duduk tawarruk di akhir Shalatnya.’”
Hasan. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (no.701,702 & 708) dan Ahmad (1/459 no.4382). Lafazh hadits dari salah satu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan ringkas ( no.701).
- Penulis memberikan kesimpulan.
- Dari 4 madzhab tersebut di atas dalam masalah sifat duduk tasyahud, maka madzab Syafi’iy dan Ahmad yang lebih kuat dari 2 madzhab yang lain. Kedua Imam tersebut di atas telah menetapkan bahwa sifat duduk tasyahud ada yang iftirasy dan ada yang tawarruk. Kemudian keduanya berselisih dalam menempatkan sifat duduk tawarruk, yaitu :
- Imam Syafi’iy mengatakan bahwa setiap akhir shalat sifat duduknya adalah tawarruk.
- Imam Ahmad mengatakan bahwa tawarruk khusus untuk shalat yang mempunyai dua tasyahud.
- Yang lebih kuat dalam masalah tawarruk –sepanjang penelitian penulis yang cukup dalam dan lama- adalah Imam Syafi’iy yaitu setiap duduk pada tasyshud akhir adalah tawarruk.
- DARI BUKU SIFAT SHALAT NABI SAW (Oleh M.Nashiruddin al- Albani, Cetakan Pertama, Dzulqa’idah 1429 / Nov. 2008 M, Penerbit : Gema Insani Depok : Jln. Ir. H. Juanda/16418).
Dalam kaitan dengan duduk tasyahud, penulis menjelaskan/menganalisa sebagai berikut :
- Duduk tasyahud akhir pada shalat dua raka’at.
Setelah selesai mengerjakan raka’at kedua pada shalat dua raka’at, beliau saw duduk untuk melakukan tasyahud (akhir) dengan duduk iftirasy yang didasarkan pada hadits-hadits, sebagai berikut :
- Hadits dengan matan bahasa Indonesia ini diriwayatkan oleh Wa’il bin Hujur r.a.,”Aku mendatangi Rasulullah saw kemudian aku melihat beliau mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, hingga mendekati kedua bahunya, dan ketika akan ruku’. Ketika duduk setelah dua raka’at, beliau membaringkan dan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy). Beliau meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, menegakkan jarinya untuk berdo’a, dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas pahanya, menegakkan jarinya untuk berdo’a, dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ Dia melanjutkan, ‘Kemudian aku mendatangi beliau dan para Shahabat pada musim berikutnya (musim dingin), lalu aku melihat mereka mengangkat kedua tangannya dan memakai kopiah panjang.’”
Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i (hal. 1/173), dia berkata “Kami diberitakan nadits oleh Muhammad bin Abdillah bin Yazid al-Muqri, dia berkata ‘Kami diberitahukan hadits oleh Sufyan, dia berkata, ‘Kami diberitahukan hadits oleh Ashim bin Kulaib dari ayahnya, dari Wa’il bin Hujur r.a.’”
Sanad hadits ini adalah sanad yang Shahih dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi yang tsiqah (terpercaya) dari Muslim, kecuali Muhammad bin Abdillah ini, namun dia juga perawi yang tsiqah (terpercaya) sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh dalam at-Taqriib. Hadits ini adalah nash yang jelas tentang duduk iftirasy dalam Shalat dua raka’at seperti Shalat Shubuh. (Halaman 419 s/d 420 pada footnote 1 di Buku tersebut di atas).
- Dari Wa’il bin Hujur yang antara lain diriwayatkan oleh an-Nasa’i yang dari halaman lain yaitu 1/141, dengan matan bahasa Indoneia, sbb :
“Dan ketika Rasulullah saw duduk untuk bertasyahud, beliau mendudukkan kaki kirinya (duduk iftirasy) dan duduk di atasnya. Rasulullah saw meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya, dan meletakkan siku tangan kanannya di atas paha kanannya. Kemudian Rasulullah saw menggenggam jari-jarinya dan membuat lingkaran dengan ibu jarinya dan jari tengah, dan beliau berdo’a dengan jari lainnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’I (hal. 1/141), ad-Darimi (hal. 1/314), Ahmad (hal.4/318), ath-Thahawi (hal. 1/152-153), dan Baihaqi (hal.2/132). Sanad hadits ini adalah sanad shahih.
Ath-Thahawi berkata “ Ungkapan yad’u (berdo’a), merupakan dalil atas fakta bahwa hal itu terjadi pada akhir Shalat.”
Fakta memang seperti yang dikatakannya, namun harus dipertimbangkan, apakah Shalat tersebut adalah Shalat yang dua raka’at atau empat raka’at.
Kami telah menemukan dalam Sunan an-Nasa’i (hal.1/173) riwayat lain yang menentukan hal tersebut dengan lafazh, yang bahasa Indonesianya : “Bila Rasulullah saw duduk tasyahud pada dua raka’at, maka beliau merebahkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan, dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya, dan menegakkan jarinya untuk berdo’a.”
Sanad hadits ini adalah sanad yang shahih juga. Dengan demikian, hadits ini adalah nash bahwa duduk iftirasy itu hanya dilakukan pada duduk tasyahud di dalam Shalat dua raka’at, dan tampaknya Shalat tersebut adalah Shalat dua raka’at dan kemungkinan adalah Shalat Shubuh. (Tersebut pada hal. 515 dan 516 pada footnote 4 di Buku tersebut di atas.).
- Duduk tasyahud awal dan akhir pada shalat yang mempunyai dua tasyahud.
Pada shalat dengan raka’at tiga atau empat atau shalat yang mempunyai dua tasyahud, duduknya diatur dengan hadits-hadits sebagai berikut :
- Seperti hadits yang disampaikan tersebut pada butir A.4.a. di atas yang diceritakan oleh Abu Humaid As-Saa’idiy – hadits ini Shahih. Dengan demikian pada setelah dua raka’at duduk tasyahud awalnya adalah iftirasy dan pada tasyahud akhirnya adalah duduk tawarruk.
- Hadits ini adalah bagian dari hadits Abu Humaid as-Sa’idiy juga. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (hal. 1/152) dan al-Baihaqi (hal. 2/128) lewat jalur Qutaibah, “Kami diberitahukan hadits oleh Ibnu Luhai’ah dari Yazid bin Abi Habib, dari Muhammad bin Amru bin Halhalah, dari Muhammad bin Amru al-Amiri, dia berkata, yang bahasa Indonesianya adalah : ‘……..pada raka’at keempat, Rasulullah saw menjadikan pantat sebelah kirinya menempel ke tanah, dan mengeluarkan ujung kaki kiri dan kaki kanan berada pada satu sisi (duduk tawarruk).’”
Namun Ibnu Luhai’ah adalah perawi yang hafalannya buruk. Tetapi, dia telah diikuti oleh al-Laits bin Sa’ad yang terdapat pada al-Baihaqi (hal.2/102). Dengan demikian, sanad hadits ini adalah Sanad yang shahih. (Tersebut pada hal. 514 di footnote 3 di Buku tersebut di atas).
- Paparan atas perbedaan pendapat para Madzhab tentang Sifat Duduk dalam Shalat yang mempunyai dua Tasyahud. (Tersebut pada hal. 514 s/d 518 di Buku Sifat Shalat Nabi saw di atas).
Ketahuilah bahwa para ulama telah berbeda pendapat tentang Sifat Duduk dalam Shalat yang mempunyai dua tasyahud, yaitu : (Sumber: Buku Sifat Shalat Nabi saw tersebut pada footnote 4 halaman 514)
i) Madzab Abu Hanifah dan para pengikut berpendapat, “Dalam kedua tasyahud
itu, duduknya adalah iftirasy.”
ii) Madzhab Malik dan para pengikut berpendapat, “Dalam kedua tasyahud itu,
duduknya adalah tawarruk.”
iii) Madzhab Asy-Syafi’i dan para pengikut berpendapat, “Dalam setiap tasyahud yang kemudian setelahnya adalah salam, duduknya adalah duduk tawarruk, dan duduk iftirasy pada tasyahud lainnya (tasyahud awal).”
iv) Madzhab/Imam Ahmad berpendapat, “Duduk tawarruk hanya terdapat pada setiap Shalat yang memiliki dua tasyahud, yaitu pada tasyahud terakhir dari keduanya.”
Berikut ini disampaikan rincian paparannya :
- Madzhab yang pertama dan para pengikutnya, berpegang kepada tiga hadits, sbb :
Pertama, hadits dari Aisyah r.a., yang bahasa Indonesianya adalah : “Setiap dua raka’at Rasulullah saw membaca tahiyat, dan beliau membentangkan kaki kirinya sebagai tempat duduk iftirasy, dan dengan menegakkan kaki kanannya ……..” (al-Hadits).
Hadits ini telah disebutkan sebelumnya pada bahasan “Doa Iftitah” dan ia dengan makna umumnya adalah hujjah yang jelas, karena sesungguhnya Aisyah r.a. menyebutkan hal itu setelah perkataannya, yang bahasa Indonesianya, sbb :
“Setiap dua raka’at membaca tahiyat …….” dan ungkapannya, “Dan beliau membentangkan kaki kirinya……”, dan seterusnya, seolah-olah adalah nash bahwa hal itu terjadi pada setiap dua raka’at juga.
Namun, sesungguhnya hadits ini –walaupun ia berada dalam Shahih Muslim, tetapi ia memiliki ‘illatnya (sebab tersembunyi dan samar yang melemahkan hadits) yaitu terputus sanadnya sebagaimana telah kami jelaskan di sana.
Dan bila hadits ini shahih, maka kami boleh berpendapat tentang duduk iftirasy pada tasyahud akhir dan bahwasanya ia adalah kadang-kadang disunnahkan, namun hadits tersebut tidak shahih .” (Sumber: Buku Sifat Shalat Nabi saw pada footnote 4 halaman 515 tersebut di atas).
Kedua, dari Wa’il bin Hujur. Dia berkata, yang bahasa Indonesianya, sbb :
“Seperti tersebut pada butir B.1.b di atas.” Berdasarkan fakta ini, maka ini tidak bisa dijadikan hujjah bagi pendapat madzab ini, bahkan ia adalah hujjah bagi Madzhab keempat yaitu Madzhab Ahmad – yang berpendapat duduk iftirasy pada tasyahud awal pada shalat yang empat raka’at, dan demikian pula pada shalat yang dua raka’at, dan hadits ini sekaligus adalah bantahan atas Madzhab kedua dan ketiga seperti tersebut pada butir B.3.ii) dan iii) di atas. (Sumber: Buku Sifat Shalat Nabi saw pada footnote 4 halaman 515 dan 516 tersebut di atas).
Ketiga, hadits yang ketiga ini bahasa indonesianya adalah : “Sesungguhnya sunnah shalat adalah menegakkan kaki kananmu dan memiringkan kaki kirimu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa (hal.1/112-113)dan lewat jalurnya hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (hal. 2/242-243) lewat jalur Malik dari Abdurrahman ibnul Qasim, dari Abdullah bin Abdullah bin Umar. Demikian pula hadits ini diriwayatkan ole hath-Thahawi (hal.1/151) dan al-Baihaqi (hal.2/129).
Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasa’I (hal.1/173), ad-Daruquthni (hal.133), dan al-Baihaqi lewat jalur lain dari Yahya bin Sa’id, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Abdullah bin Abdullah, tentang riwayat yang semisal dengannya. Lafazh dari an-Nasa’I telah berlalu bahasannya dalam bahasan (duduk antara dua sujud), dan demikian pula ad-Daruquthni memiliki beberapa lafazh lainnya. Kemudian ad-Daruquthni berkata, “Semua riwayat ini adalah Shahih.”
Syaikh Albani mengomentari, “Ia adalah hujjah secara mutlak, namun telah muncul pula dari Ibnu Umar riwayat yang menentukan kaitan hal itu dengan tasyahud awal dalam shalat empat raka’at atau dengan tasyahud pada shalat yang dua raka’at, yaitu riwayat yang diriwayatkan oleh Malik juga, dan lewat jalurnya, riwayat ini diriwayatkan oleh ath-Thahawi dan al-Baihaqi, dari Yahya bin Sa’id juga. ‘Aku diberitahukan hadits oleh Yahya dari Malik dari Yahya bin Sa’id, bahwa al-Qasim bin Muhammad telah memperlihatkan kepada mereka cara duduk dalam tasyahud, kemudian dia menegakkan kaki kanannya dan memiringkan kaki kirinya. Dia duduk di atas pantatnya yang sebelah kiri, dan tidak duduk di atas kakinya. Kemudian dia berkata, ‘Aku diperlihatkan demikian oleh Abdullah bin Abdullah bin Umar dan aku diberitahukan hadits olehnya bahwa ayahnya melakukan duduk tasyahud seperti itu.’”
Dengan demikian, riwayat ini bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam riwayat al-Qasim bin Muhammad yang disebutkan sebelum ini, dan yang semisal dengannya adalah riwayat anak Abdurrahman. Jadi salah satu dari dua riwayat ini tidak didudukkan pada salah satu tasyahud, dan riwayat yang lain tidak didudukkan atas tasyahud yang lain. Maka, kedua riwayat ini akan saling bertentangan.
Al-Hafish dalam al-Fath (hal.2/243) berkata, “Bila riwayat al-Qasim dan anaknya didudukkan pada tasyahud pertama, dan riwayat yang terakhir didudukkan pada tasyahud akhir, maka hilanglah pertentangan antara kedua riwayat tersebut, dan hal itu sesuai dengan riwayat yang terperinci yang disebutkan dalam hadits Abu Humaid. Wallahu a’lam.”
Inilah semua dalil dan hujjah yang kami (penulis) temukan dalam pegangan pengikut madzhab ini. Telah jelas bagi anda dengan keterangan ini, bahwa tidak bisa diterima dari mereka walaupun satu hujjah. (Sumber: Buku Sifat Shalat Nabi saw pada footnote 4 halaman 516 dan 517 tersebut di atas).
- Madzhab yang kedua dan para pengikutnya, mereka juga ber-hujjah dengan hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan tadi (tsb. di atas), yang bahasa Indonesianya, sbb :
(Sumber: Buku Sifat Shalat Nabi saw footnote 4 halaman 517) “Bahwa beliau duduk di atas pantatnya yang sebelah kiri.” Bantahan atasnya menjadi jelas sekali dengan bantahan sebelumnya, yaitu bahwa riwayat tersebut didudukan pada tasyahud akhir, untuk memadukan antara riwayat-riwayat yang saling bertentangan. Sehingga dua riwayat tersebut dengan memadukan antara keduanya adalah hujjah untuk Ahmad atas Madzhab Malik.
Kami (Penulis) telah menemukan hujjah lain bagi mereka yaitu hadits Ibnu Mas’ud, dengan bahasa Indonesia, sbb: “Sesungguhnya Rasulullah saw ketika duduk pada pertengahan shalat dan pada akhirnya, di atas pantatnya yang sebelah kiri, beliau membaca, ‘Segala ucapan selamat adalah bagi Allah……’” (al-hadits).
Ini adalah nash yang jelas tentang tawarruk dalam shalat dua tasyahud, namun sanadnya tidak shahih sebagaimana telah dijelaskan pada duduk iftirasy yaitu : “Dalam penetapan hadits tersebut dengan lafazh tersebut ada pertimbangan, karena ia diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq sendirian yang bertentangan dengan riwayat perawi lainnya yang lebih tsiqah (terpercaya) dan lebih kuat hafalannya.
Adz-Dzahabi – setelah memaparkan pendapat-pendapat ulama tentangnya– telah berkata,”Jadi yang jelas bagi kami, adalah bahwa Ibnu Ishaq adalah haditsnya hasan, kepribadiannya dapat diterima, dan shaduq (jujur). Tetapi hadits yang diriwayatkan olehnya sendirian, terdapat pengingkaran terhadapnya karena hafalannya bermasalah.”
Penulis (Syaikh al-Albani) mengomentari, “Sebutan tentang duduk tawarruk dan tasyahud pertengahan adalah mungkar dalam hadits Ibnu Mas’ud tersebut, karena al-Bukhari, Muslim dan imam-imam hadits yang empat lainnya dan lain-lain telah meriwayatkan hadits tersebut lewat banyak jalur, tetapi di dalamnya tidak disebutkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq tersebut. Wallahu’alam.”
Mereka memiliki hujjah yang ketiga, yaitu hadits Abdullah ibnuz Zubair ini, yaitu hadits tersebut di bawah ini yang bahasa Indonesianya adalah : “Sesungguhnya Rasulullah saw bila duduk di dalam shalat, maka beliau menjadikan kaki kirinya berada di antara pahanya dan betisnya, dan membentangkan kaki kanannya. Rasulullah saw meletakkan tangan kirinya di atas lutut kirinya, dan meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan menunjuk dengan isyarat jari telunjuknya.”
Namun hadits ini dibantah, bahwa ia adalah hadits umum, dan bahwasanya ia didudukkan ke dalam tasyahud akhir, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Humaid sebelumnya (tersebut pada butir B.2.b. di atas). Hal ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (hal.1/86).
- Madzhab yang ketiga dan para pengikut, mereka tidak memiliki hujjah selain yang terdapat dalam hadits Abu Humaid dengan lafazh bahasa Indonesianya, sbb.:
(Sumber : Buku Sifat Shalat Nabi saw footnote 4 halaman 517 dan 518)
“Hingga ketika beliau sujud pada saat sujud ketika akan salam, Rasulullah saw mengeluarkan kaki kirinya (dan meletakkannya ke bawah kaki kanannya), lalu beliau duduk tawarruk di atas samping (pantat) kirinya.”
Hadits ini telah dijelaskan sebelumnya pada butir A.4.a. di atas. Namun , di dalam hadits ini tidak terdapat hujjah, karena redaksi hadits menunjukkan bahwa hal itu terjadi pada tasyahud yang kemudian diikuti dengan salam dari shalat yang empat dan tiga raka’at, karena dia telah menyebutkan tentang duduk Rasulullah saw pada duduk tasyahud setelah dua raka’at. Kemudian dia berkata, yang bahasa Indonesianya adalah : “Hingga ketika beliau sujud pada saat sujud ketika akan salam, Rasulullah saw mengeluarkan kaki kirinya (dan meletakkannya ke bawah kaki kanannya), lalu beliau duduk tawarruk di atas samping (pantat) kirinya.” Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad (hal.1/92) berkata, “Dengan demikian, redaksi hadits ini sangat jelas mengkhususkan duduk tersebut dengan tasyahud yang kedua.”
Penulis (Syaikh al-Albani) mengomentari, “Yang lebih tegas lagi adalah riwayat al-Bukhari yang telah berlalu tadi, dengan lafazh, yang bahasa Indonesianya adalah :
“Ketika Rasulullah saw duduk setelah dua raka’at, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Pada saat duduk di raka’at terakhir, beliau menyilangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, dan duduk di atas tempat duduknya.”
Hadits ini adalah nash tentang apa yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim, dan ia menjelaskan bahwa sebagian perawi telah meriwayatkan secara umum riwayat hadits Abu Humaid ini, sehingga tidak menyebutkan sifat duduk Rasulullah saw dalam tasyahud pertama, sehingga terpesona orang-orang yang menjadikannya sebagai hujjah untuk madzhab ini. Sedangkan yang harus menjadi pegangan adalah hadits yang ada keterangan tambahan dan tambahannya lebih banyak dari pada yang lain—sebagaimana telah diketahui ketetapannya.
- Madzhab yang keempat, maka anda telah mengetahui bahwa hujjahnya adalah hadits Abu Humaid ini. Ia adalah nash yang jelas, tegas dan pasti tentang masalah itu. Dengan demikian, ia adalah madzhab yang paling kuat dan paling benar, dan madzhab inilah yang memadukan antara beberapa hadits yang telah ditetapkan keshahihannya dan tidak menolak sesuatu pun dari hadits-hadits tersebut. Namun, hal itu berbeda dengan madzhab-madzhab lainnya, karena ia harus menolak banyak hadits lain atau sebagian darinya – sebagaimana hal itu jelas sekali terjadi. (Sumber : Buku Sifat Shalat Nabi saw footnote 4 halaman 518 tersebut di atas.).
- KESIMPULAN/SIMPULAN.
Dari paparan tersebut Butir A dan B di atas tentang sifat duduk di dalam Shalat yang dua raka’at dapat disimpulkan bahwa berdasarkan dalil/nash yang benar adalah :
- Duduk IFTIRASY dilakukan pada tasyahud awal/permulaan untuk shalat yang memiliki dua tasyahud dan pada tasyahud akhir untuk Shalat dua raka’at.
- Duduk TAWARRUK dilakukan pada tasyahud akhir untuk Shalat yang memiliki dua tasyahud dan pada shalat yang memiliki satu tasyahud untuk Shalat : satu, tiga dan lima raka’at.
Pertimbangan tersebut di atas didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :
a) Sesuai dalil/nash yang tersebut pada butir B.1.a. dan b serta butir B.2.a dan b.di atas.
b) Hadits dari Abu Humaid As-Saa’idiy yang dipakai sebagai dasar bagi Imam Asy-Syafi’iy dan para pengikutnya, adalah hadits yang shahih sebagai dasar/dalil/nash untuk melaksanakan shalat yang mempunyai dua tasyahud (pada shalat wajib 3 dan 4 raka’at), sebagaimana ulasan M. Nashiruddin Al-Albani seperti tersebut pada butir B.3.iii).c. atau uraian/paparan perbedaan pendapat tentang sifat duduk dalam dua tasyahud khususnya Madzhab yang ke tiga (Imam Asy-Syafi’i) tersebut pada butir B.3.c. di atas.
c) Menurut penulis (Abdul Hakim bin Amir Abdat tersebut pada butir A di atas) bahwa hadits Abdullah bin Mas’ud sebagai penguat hadits Abu Humaid As-Saa’idiy seperti tersebut pada butir A.4.b. di atas adalah hadits yang sanadnya tidak shahih sebagaimana yang telah diuraikan pada paparan perbedaan pendapat tentang sifat duduk dalam dua tasyahud khususnya Madzhab yang kedua (Madzhab Malik dan para pengikutnya) seperti tersebut pada butir B.3.b. di atas.
Demikianlah, untuk dimaklumi dan atas perhatian / perkenan Saudara-Saudara kaum Muslimin yang membaca tulisan ini semoga mendapat rakhmat dari Allah SWT dan kami ucapkan terima kasih. Jakarta 24-11-2011.